Tuesday, December 26, 2006

Long Road To Heaven versi .....????

9 Sutradara terkenal bikin film bom Bali?

Hehehe. Mumpung lagi heboh filmnya Nia terbaru (disutradarai Enison Sinaro) “Long Road to Heaven”, bagaimana jika 9 sutradara terkenal di Indonesia membuat film tentang Bom Bali?

Garin Nugroho

Judulnya pasti puitis: Bom Tak Terkuburkan, Bom dalam Sepotong Roti, Bom di Atas Bantal, Surat untuk Amrozy dan Aku ingin Mengebommu Sekali Saja.

Akan banyak sekali permainan simbol-simbol di film yang tenang dengan plot lambat. Kalau perlu ledakan bom dibuat slow motion dan disimbolkan dengan orang buang angin (maaf).

Rudi Soedjarwo

Judul filmnya pasti: Bom Jatuh, Tentang Bom, 9 Teroris, Ada Apa dengan Bom? Mengejar Amrozy.

Titi Kamal akan main sebagai bartender di Sari Club, Dian Sastro sebagai perawat rumah sakit yang lugu dan Marcella Zailanty akan banyak menangis karena kekasihnya jadi korban pengeboman. Soundtrack film ini akan diisi oleh Melly Goeslaw dengan lagu: Menghitung Bom dan Glenn Fredly dengan: Sekali Bom Saja.

Joko Anwar

Judulnya: Janji Amrozy. Dead Bomb Time.

Joko tak akan membiarkan filmnya terasa seperti dokumenter. Ia akan mengisi “Janji Amrozy” dengan adegan-adegan komedi satir seperti film-film festival Prancis.

Nia Dinata

Judulnya: Berbagi Bom, Arisan Al Qaeda

Nia akan menggambarkan para istri-istri Hambali. Juga akan banyak bermain klimaks tentang tahanan homo yang jatuh cinta pada Amrozy.

Rizal Mantovani

Judul: Bom; Datang Tak Diundang - Pulang Tak diantar, Bomtilanak.

Mungkin Siti Nurhaliza akan main di film ini. Penuh dengan low angle shot dan kamera yang terus bergerak. Akan banyak gambar dengan kontras warna merah dan biru serta background penuh dengan lampu-lampu sorot.

Riri Riza

Judul: Petualangan Amrozy; atau Amrozy,Amrozy; atau Amrozy, Catatan Harian Seorang Teroris.

Film akan bertutur semi dokumenter. Setting film dipenuhi detail yang menawan. Kamera dengan sudut high angle juga banyak digunakan Riri. Tidak banyak klimaks di filmnya dan lebih banyak percakapan.

Dimas Djay
Judul: Tusuk Jelabom
Asap dramatis akan banyak terlihat di sepanjang film sebagai background. Begitu pun siluet-siluet. Kemungkinan besar para teroris akan digambarkan lebih modern, dengan baju hitam-hitam, sepatu DocMart, senter besar dan ponsel yang digunakan untuk memicu bom pun seri Erricson terbaru. Saat pengeboman, mungkin akan muncul peri-peri romawi dengan sayap.

Hanung Bramantyo
Judul: Brownies Kukus a.k.a C4, Jomblo-Jomblo Teroris, Lentera Bom.
Akan banyak remaja-remaja cantik dan ganteng yang dikesankan cerdas. Mungkin VJ Rianti akan bermain sebagai wartawan cantik yang kritis dan sedang membuat berita tentang Amrozy. Di film ini, Rianti akan ditemati teman-temannya yang ngocol dan konyol, diperankan Denis Adiswara dan Ringgo.

Teddy Soeriaatmaja

Judul: Bom Biru.

Film dipenuhi adegan-adegan khayalan, bahkan jauh dari fakta bom bali itu sendiri. Bisa jadi Teddy juga memaksakan orang-orang lama di-make up total untuk dapat berperan di filmnya ini. Misalnya Didi Petet sebagai Hambali serta Butet Kertarajasa disuruh menguruskan badan dan mempelajari dialek Dr. Azahari.

Nayato Fio Nuala
Judul: Bombal – sebuah bom di Bali.
Fio akan menceritakan perjalanan para aktor pengeboman ketika mereka masih remaja. Tanpa langsung ia ingin menceritakan pengalaman psikologis saat remaja yang akhirnya membentuk pribadi mereka. Adegan-adegan dipenuhi adegan konyol dan ide-ide bombastis yang tak mereka sadari akan benar-benar merubah hidup mereka kelak.

Thursday, December 14, 2006

Poligami? Tak u'uk deh...

Belakangan lagi marak dibahas masalah pro dan kontra seputar poligami. Sebenarnya ini masalah klasik yang dari dulu selalu memancing perdebatan panjang dan tak berujung. Anehnya, masing-masing pihak kerap menggunakan landasan yang sama dalam menganalisa: agama.

Saya nggak mau membahas sisi ini dari sudut pandang kaum feminis atau pun hati nurani wanita. Jawabannya jelas: TOLAK! Yang menarik adalah saat para kaum agamis bisa berbeda pendapat mengenai topik ini. Berikut kutipan dari artikel di Kompas Online:

Faqihuddin Abdul Kodir

UNGKAPAN "poligami itu sunah" sering digunakan sebagai pembenaran poligami. Namun, berlindung pada pernyataan itu, sebenarnya bentuk lain dari pengalihan tanggung jawab atas tuntutan untuk berlaku adil karena pada kenyataannya, sebagaimana ditegaskan Al Quran, berlaku adil sangat sulit dilakukan (An-Nisa: 129).

DALIL "poligami adalah sunah" biasanya diajukan karena sandaran kepada teks ayat Al Quran (QS An-Nisa, 4: 2-3) lebih mudah dipatahkan. Satu-satunya ayat yang berbicara tentang poligami sebenarnya tidak mengungkapkan hal itu pada konteks memotivasi, apalagi mengapresiasi poligami. Ayat ini meletakkan poligami pada konteks perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.

Dari kedua ayat itu, beberapa ulama kontemporer, seperti Syekh Muhammad Abduh, Syekh Rashid Ridha, dan Syekh Muhammad al-Madan-ketiganya ulama terkemuka Azhar Mesir-lebih memilih memperketat.

Lebih jauh Abduh menyatakan, poligami adalah penyimpangan dari relasi perkawinan yang wajar dan hanya dibenarkan secara syar’i dalam keadaan darurat sosial, seperti perang, dengan syarat tidak menimbulkan kerusakan dan kezaliman (Tafsir al-Manar, 4/287).

Anehnya, ayat tersebut bagi kalangan yang propoligami dipelintir menjadi "hak penuh" laki-laki untuk berpoligami. Dalih mereka, perbuatan itu untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad SAW. Menjadi menggelikan ketika praktik poligami bahkan dipakai sebagai tolok ukur keislaman seseorang: semakin aktif berpoligami dianggap semakin baik poisisi keagamaannya. Atau, semakin bersabar seorang istri menerima permaduan, semakin baik kualitas imannya. Slogan-slogan yang sering dimunculkan misalnya, "poligami membawa berkah", atau "poligami itu indah", dan yang lebih populer adalah "poligami itu sunah".

dst.

Secara pribadi saya nggak setuju dengan poligami. Biar bagaimana juga, akan susah buat para lelaki (yang memang diciptakan dengan nafsu besar itu lho...) untuk bisa berlaku adil (akibat trauma makanya saya masih menjomblo :p --> curbung). Tapi saya juga nggak mau menghujat mereka yang melakukan. Mereka punya alasan sendiri.

Di atas itu semua, saya melihat bahwasanya kita sebagai manusia memang sebaiknya tidak semena-mena memperlakukan hukum agama. Apa yang diperbolehkan bukan serta-merta menjadi halal mutlak. Banyak situasi-situasi di belakang suatu kejadian sehingga membuat sebuah hukum itu lahir. So... untuk para kaum lelaki, plis deh. Nggak usah pake dalih diijinkan agama, kalau kalian berpoligami karena nggak sanggup nahan nafsu (baca: gatelan; red.) ya jujur aja. Okeh....

BISNIS ITU PERMAINAN, BUKAN ILMU PENGETAHUAN

Dikutip dari postingan Budiman Hakim di milis Creative Circle Indonesia. Quiet inspiring. Moga-moga bisa menambah daya juang yang sudah mulai meluntur ini. Hehehehe...


Selama kita merasa belum familiar dan takut memulai bisnis, biasanya yang timbul di pikiran kita adalah: "belajar!". Pilihannya mungkin dengan jalan mengambil program S2 dan jadi seorang MBA, atau ikut sebanyak-banyaknya seminar dan pelatihan, atau bisa juga dengan berguru dan mengabdi pada seorang begawan bisnis. Kira-kira, sudah selaraskah alur pemikiran yang sedemikian dengan apa yang terjadi pada kenyataannya? Mari kita telaah.

Kebanyakan dari kita berbisnis karena ingin sukses, lalu menjadi kaya raya. Kita membayangkan, betapa enak dan hebatnya bila kita dapat sesukses dan sekaya Bill Gates atau Donald Trump. Menurut pandangan masyarakat pada umumnya, mereka itulah orang-orang sukses yang sebenar-benarnya. Merekalah sosok-sosok pebisnis yang prestasinya membuat banyak orang terobsesi. Maka tidak heran jika para pakar pun berusaha menyadap dan mempelajari segala hal yang ada pada orang-orang sukses itu, dengan harapan dapat mentransfer nilai-nilai kesuksesannya kepada orang-orang lain yang juga ingin menjadi figur sukses. Mereka berpendapat bahwa: "Leaders are made, not born".

Selanjutnya, segala sepak terjang yang dilakukan oleh para pebisnis tersebut, dikumpulkan, dipilah-pilah, lalu dianalisis. Dari analisis itu dibuat teori-teori. Hasilnya, muncullah berbagai teori kesuksesan yang terkemas dalam materi-materi "ilmu bisnis", wacana profesionalisme, ilmu kepemimpinan (leadership), dan lain sebagainya.Orang-orang awam memang ingin sekali menemukan cara-cara yang bisa membantu mereka untuk secara cepat mencapai kesuksesan. Semacam rel kereta yang tinggal diikuti saja akan mengantar orang tiba di gerbang kejayaan.


Namun demikian, apa benar kalau kita ingin menjadi figur sukses -- lebih spesifiknya pebisnis sukses -- harus menempuh perjalanan yang sarat dengan teori-teori kesuksesan seperti itu? Dari berbagai catatan yang ada, tampaknya tidak demikian. Banyak sepak-terjang yang dilakukan oleh para pemimpin bisnis dunia tidak mencerminkan bahwa kesuksesan mereka disebabkan pembelajaran yang sungguh-sungguh dalam ilmu bisnis, profesionalisme dan teori
kepemimpinan. Tidak juga pengetahuan ekonomi, teori-teori tentang kebebasan finansial, ilmu marketing dan lain sebagainya. Pun, tidak karena mereka rajin mengikuti seminar kesuksesan atau lokakarya tentang strategi bisnis.

Di lain pihak, banyak pemimpin bisnis ternyata merupakan orang-orang yang justru tidak suka belajar, malas sekolah, dan hanya ingin bermain-main saja. Boro-boro ikut seminar atau lokakarya. Lho kok bisa?

Ada beberapa contoh kasus. Yang pertama, Thomas Alva Edison. Nama ini sudah kita tahu sejak di bangku SD bukan? Namun, tentunya kita kenal Edison lebih sebagai tokoh ilmu pengetahuan, karena sekolah memfokuskan ajaran hanya pada penemuan atas lampu pijar dan berbagai temuan teknis lain yang dilakukannya. Maka jarang kita memperhatikan bahwa sesungguhnya Thomas Alva Edison adalah juga seorang pengusaha besar yang sukses. Ia adalah pemilik dan pendiri berbagai perusahaan dengan nama-nama seperti Lansden Co. (mobil/otomotif), Battery Supplies Co. (baterai), Edison Manufacturing Co. (baterai dsb), Edison Portland Cement Co. (semen dan beton), North Jersey Paint Co. (cat), Edison General Electric Co. (alat listrik dll), dan banyak lainnya. Salah satu yang masih berjaya sampai sekarang adalah General Electric.

Apakah untuk mencapai itu semua Edison harus bersusah-payah mengikuti berbagai sekolah dan pendidikan tinggi? Atau mengikuti seminar kelas dunia yang diselenggarakan oleh para pakar kesuksesan, pakar bisnis atau pakar financial freedom? Ternyata tidak. Figur Edison adalah figur pemalas yang hanya tahan 3 minggu bersekolah. Ia lebih suka bermain-main dengan perkakas, dengan kawat dan dengan listrik. Itu kesenangannya dan dengan itu ia sukses.

Contoh lain adalah Kenji Eno. Ia juga tidak suka sekolah. Ia cuma suka bermain-main dengan permainan, istimewanya dengan video games. Kelas 2 SMA berhenti sekolah terus nganggur. Lalu dapat kerja di perusahaan perangkat lunak, sampai akhirnya ia berhasil mendirikan perusahaan perangkat lunaknya sendiri yang dinamakan WARP. Dalam tempo beberapa tahun saja Kenji Eno mampu membawa perusahaannya menjadi perusahaan video games terhebat di dunia yang diakui oleh tokoh-tokoh industri.

Fenomena-fenomena yang dibuat oleh orang-orang semacam Edison dan Kenji Eno ini memberi kesan kepada kita semua bahwa bisnis itu sebenarnya lebih dekat kepada sebuah permainan, dan terlalu jauh untuk diperlakukan sebagai sebuah ilmu pengetahuan. Gede Prama yang dikenal sebagai pakar manajemen (bahkan dijuluki Stephen Covey Indonesia), mengomentari fenomena Kenji Eno sebagai kesuksesan dari kebebasan berfikir yang mampu melompat, karena belum terkena polusi-polusi yang dibuat sekolah.

Menurut saya, adalah keliru mempelajari fenomena pemimpin, untuk menciptakan pemimpin. Demikian juga, keliru mempelajari fenomena pebisnis sukses, untuk mencetak pebisnis sukses. Sebab, fenomena pemimpin (atau pebisnis) adalah fenomena manusia, yang tidak sama
dengan fenomena alam. Kalau Isaac Newton mempelajari peristiwa jatuhnya buah apel ke tanah (fenomena alam) dan kemudian menemukan hukum gavitasi, maka itu oke-oke saja. Karena fenomena alam tidak berubah, hukum gravitasi pun akan tetap abadi.

Akan tetapi, mempelajari fenomena manusia pasti akan menimbulkan frustrasi. Sebab, manusia merupakan mesin perubahan, sehingga tidak akan ada fenomena manusia yang tinggal tetap abadi sepanjang masa, berlawanan dengan yang kita lihat pada peristiwa jatuhnya buah apel.
Pemimpin, dalam bidang apa pun termasuk bisnis, adalah sosok manusia yang bebas, yang bertindak semaunya tanpa memperhatikan teori mau pun kaidah, sehingga nyaris percuma kalau kita ingin mempelajari dan mengikuti jejak sepak terjangnya.

Coba lihat, pada saat terjadinya resesi ekonomi dunia tahun 1929, semua orang berdasarkan teori-teori yang ada, berusaha untuk berlaku sehemat mungkin. Tapi sebaliknya, Matsushita si raja elektrik dari Jepang malah royal mengeluarkan uang. Seakan uang itu tidak lebih dari mainan saja layaknya. Meski pun bukan tanpa alasan dia berlaku demikian.

Lihat juga Kim Woo Chong, pendiri imperium Daewoo. Ketika semua pengusaha (juga dengan teori-teori yang ada) berkonsentrasi memasuki pasar negara-negara kaya semacam Amerika dan Eropa, ia malah dengan santainya masuk ke pasar-pasar "keras" seperti Iran, Sudan dan Rusia serta negara-negara blok timur.

"Kesia-siaan" mempelajari dan berusaha mengikuti sepak terjang para pemimpin bisnis bisa dirasakan secara langsung di lapangan. Saat pertama kali Harvard Business Review mempublikasikan konsep pemasaran yang beken dengan "Marketing Mix" 4P (product, price, place dan promotion), nyaris semua pengusaha serta pakar bisnis menganut konsep
ini secara fanatik. Begitu juga dengan perguruan-perguruan tinggi dan sekolah manajemen.

Tapi, tidak terlalu lama, sebagai akibat "ulah" para pemimpin bisnis yang gemar bermain-main, perubahan tren perekonomian dan industri memaksa para pakar dan pembelajar merubah lagi konsepnya dengan 6P, 8P bahkan yang terakhir disebutkan sebagai 12P. Terus bagaimana? Kalau kita harus bersiaga setiap saat untuk belajar dan tidak ketinggalan zaman dengan ilmu marketing, kapan kita berbisnis?

Saya rasa kita semua banyak yang terjebak dan hanyut dalam "arus ilmu pengetahuan" yang dibuat oleh mereka yang "pakar ilmu pengetahuan", sehingga kita tidak sempat lagi berinovasi yang justru merupakan kunci sukses bisnis. Kita malah terus menerus "dipaksa" mengejar
ketinggalan ilmu pengetahuan tanpa tahu di mana ujung pangkalnya. Pertanyaannya: "Sebenarnya kita mau jadi pebisnis atau mau jadi ilmuwan sih?"

Saya sendiri yakin bahwa bisnis dan kesuksesan itu adalah semacam permainan saja. Seperti apa yang dikatakan oleh William Cohen dalam tulisannya "The Art Of The Leader" : "Success is acquired by playing hard, not by working hard..".

Mengacu pada obsesi banyak orang tentang Bill Gates dan Donald Trump sebagaimana disebut di atas, perlu diketahui bahwa kedua orang tokoh ini pun mencapai sukses dari kesenangannya bermain-main. Bill Gates sejak masih berusia 13 tahun sudah bermain-main dengan
perangkat lunak komputer, dan dengan itu ia menjadi salah satu orang terkaya di dunia. Donald Trump juga sejak kecil selalu bermain-main ke kantor ayahnya, Fred Trump. Dia suka sekali melihat-lihat maket gedung dan pencakar langit, sebelum tertarik dengan bidang bisnis
sang ayah, yaitu properti. Dan jadilah Donald Trump seorang Raja Properti.

Terakhir yang ingin saya sampaikan adalah, orang yang mempelajari ilmu kepemimpinan tidak akan menjadi pemimpin. Tapi, orang yang mencoba menjadi pemimpin, akan menjadi pemimpin. Demikian juga, orang yang mempelajari ilmu bisnis, tidak akan menjadi pebisnis.
Tapi, orang yang mencoba menjadi pebisnis, akan menjadi pebisnis.


Rusman Hakim
Pengamat Kewirausahaan
E-mail: rusman@gacerindo.com
Web: http://www.gacerindo.com
Blog: http://rusmanhakim.blogspot.com
Mobile: +62 21 816.144.2792

Tuesday, December 5, 2006

BSF oh BSF

Satu lagi film Indonesia yang kabarnya akan dijegal Lembaga Sensor Film (LSF). Kali ini giliran Nia Dinata (Arisan! Dan Berbagi Suami) yang kena sial. Salah satu film produksinya, sebuah film tentang peristiwa Bom Bali, kemungkinan besar tidak lulus sensor. Menurut seorang sumber, ini hambatan kedua dari pihak otoritas setelah pada awal produksi, film ini tidak mendapatkan izin dari Badan Pembinaan Perfilman Daerah Bali untuk mengambil gambar.

Jika film produksi Kalyana Shira Film ini jadi ditolak, berarti semakin menambah panjang daftar film yang ditolak LSF. Sebelum film ini, film Pocong karya Rudi Soedjarwo juga dilarang tayang. Ada kebetulan persamaan yang menarik dari kedua film ini. Yakni ceritanya sama-sama berangkat dari peristiwa nyata. Jika Rudi terinspirasi oleh tragedi Mei 1998, filmnya Nia terinspirasi tragedy Bom Bali 1.

Nia Dinata lewat film ini mencoba memberi kaca mata lain dalam menyikapi Bom Bali. Karakter Amrozy, Ali Imron, Imam Samudra, dan tokoh lain yang terlibat dalam pengeboman, dihadirkan secara manusiawi dan kaya akan pengembangan karakter.

Namun justru kekayaan inilah yang sepertinya membuat LSF mengeluarkan gunting mautnya. Menurut pandangan LSF, banyak pihak yang akan dirugikan dengan penayangan film ini. Tapi siapa pihak-pihak yang dimaksud? Masyarakat Bali? Bukankah masyarakat Bali dikenal sebagai masyarakat yang terbuka terhadap semua tema dan ekspresi kesenian? Kepolisian? Karena ada adegan Muklas menyuap polisi? Atau ada pihak lain yang tak mau penonton Indonesia membuka mata dan mengarahkan perhatian pada kasus ini? Pihak yang diuntungkan jika tak ada lagi yang peduli dengan keputusan eksekusi Amrozy cs akhir tahun 2006 ini?

Jangan biarkan kebenaran kembali ditutupi. Kirimkan e-mail ke orang-orang yang Anda kenal, dan mari bersama-sama mengawasi keputusan sensor film ini. Jangan lagi mata kita ditutupi. Letakan juga atensi pada pelaksaan eksekusi Amrozi cs. Untuk Indonesia yang lebih baik!

Monday, December 4, 2006

My Guru



Mungkin kalian akan menganggap kekaguman saya terlalu berlebihan. Tapi entah lah, sejak mengikuti salah satu seminarnya beberapa tahun lampau saya melihat sosoknya jadi begitu menarik. Kemampuan analitisnya, kecepatan berpikirnya, keahlian presentasinya... sepertinya hal-hal rumit menjadi begitu mudah jika dibahas olehnya.

Bact to the post's title, sepertinya memang berlebihan kalau saya bilang dia adalah guru saya. Kenal pun tidak dia dengan saya, apalagi berbincang-bincang. Hihihi...

Anyway, berkat bantuan teman, saya mendapat informasi bahwa tokoh ini ternyata punya personal blog. Waaaah luar biasa sekali. Ibarat menemukan oasis di tengah padang pasir. Dalam semangat untuk berbagi, saya persembahkan satu dari beberapa blog favorit saya.

Insan Film Jakarta Berpesta

JiFFest is coming. Ritual tahunan insan perfilman Jakarta berpesta lagi. Nggak cuma mereka yang berkecimpung langsung dengan dunia film, para penikmat pun mula menyusun strategi untuk tidak melewatkan hiburan rohani setahun sekali ini. Dari beberapa referensi teman dan hasil pencarian blogwalking, berikut ini referensi yang buatku cukup kredibel untuk didengar.


Bersiap untuk JiFFest

(dikutip dari blog pakde.com)

Orang gila lain yang perlu kita hormati dan sayangi tentu saja adalah Shanty Harmayn, Orlow Seunke, dan kawan-kawannya, yang masih mau terus menyusahkan diri menyelenggarakan JiFFest (Jakarta International Film Festival) setiap tahun.

Saya jadi teringat sebuah posting lama (maaf, belum sempat merestore posting-posting lama) mengenai ucapan terima kasih dari Penny Purnawaty (waktu itu Operational Manager JiFFest) setelah membaca tulisan-tulisan saya selama menonton Singapore International Festival (SIFF) 2005. Penny antara lain menulis, “Saya baru selesai membaca semua resensi film dan pengalaman menonton anda selama di SIFF. Senang sekali membacanya. Paling tidak membuat saya tambah yakin kenapa sampai detik ini saya masih mau menggeluti JiFFest…. Terima kasih untuk laporan pandangan matanya. JiFFest memang masih harus banyak berbenah di urusan penyelenggaraan festival. Tapi dengan penonton seperti anda, saya jadi bersemangat lagi mengerjakan pekerjaan saya.”

...read more.


Membaca blognya si Pakde ini ternyata lebih inspiratif ketimbang melihat website resmi JiFFest. Memang sih ada review film yang lebih lengkap, tapi dari sisi pandang penikmat film, saya lebih menyukai ulasan di blognya Pak De.


Sementara ini, saya masih disibukkan dengan rutinitas-rutinitas harian yang semakin terasa nggak penting (hehehe, penting sih... kalau nggak dijalani saya makan apa nanti). Semoga saya masih diberi kesempatan untuk bisa merefresh rohani dengan tontonan bermutu tahun ini.

Tuesday, November 28, 2006

Banyak Pahlawan Di Indonesia

Seorang temen bilang, “Indah, kamu tuh orang paling enak buat dicurhatin!”. Harusnya, compliment macam ini bikin mata berbinar-binar. Biasanya juga, pujian yang datang dari seorang temen –yang curhat sambil nangis darah ini- bikin aku lebih melebarkan senyum, menarik nafas lebih dalem, dan memandang sabahatku ini dengan tatapan ‘bijak’.

Tapi hari itu, sungguh, aku muak sama diri sendiri. Sesampainya di rumah setelah berjam-jam denger curhat di tempat ngopi, aku langsung lari ke kamar mandi. Yes! Masih ada sikat gigi yang belom dibuka! Sikat gigi baru ini kuletakkan tepat di tengah lipatan telapak tangan, dan menggenggamnya erat. Harus ku yakinkan diri sendiri untuk gak bakalan pernah ngelepasin sikat gigi ini. Kapanpun!

30 menit.

Satu jam lebih. Gusiku mulai berdarah.

Satu jam empat puluh lima menit. Gigiku linu.

2 jam! Aku merasakan cairan asin berbaur dengan busa pasta gigi yang udah gak jelas rasanya apa.

Bukan. Bukan darah.

Itu air mata. Air asin yang kukecap berasal dari air mata yang entah sejak kapan menetes.

Aku jijik sama diriku.

Aku ingin membersihkan semua yang pernah aku ucapkan selama puluhan tahun hidup. Kalau perlu, aku akan bertahun-tahun berada di depan wastafel dan terus menyikat gigi dan mulut. Sampai tak lagi bersisa semua yang pernah aku ucapkan. Kepada siapapun.

Aku menghianati diri sendiri.

Aku menghianati Tuhan.

Aku menghianati sahabat-sahabatku.

Lihatlah di luar sana. Dengan alasan menegakkan kebenaran, masyarakat memukuli dan membakar sampai mati seorang pencuri ayam. Untuk menjaga standar moral, sepasang adam-hawa yang (dianggap) berzinah diarak telanjang keliling kampung.

Cobalah kau bikin keributan malam-malam sampai mengganggu tetangga. Lalu Pak RT dan para penduduk mendatangi rumahmu. Coba kau lawan mereka. Mereka akan mulai mencari alasan untuk melempari rumahmu dengan batu. Tapi cobalah langsung meminta maaf. Mereka akan masuk ke teras rumahmu dan memintamu duduk. Pak RT akan panjang lebar menjelaskan tentang hidup bertetangga. Akan banyak yang ikut mengiyakan dan menimpali, sambil matanya mencoba mengorek-ngorek isi dibalik daster merah muda-mu. Beres? Tidak. Lalu mereka akan mulai berbicara panjang lebar tentang pagarmu yang terlalu tinggi. Tentang mangga di kebun yang tak pernah kau bagi-bagi. Tentang anak-anak yang kau marahi karena menginjak-injak bunga anggrek kesayangan peninggalan papa. Duh, apa hubungannya semua itu dengan berisik malam-malam? Belagu.

Ini hobi masyarakat kita: menggurui dan menjadi pahlawan. Kita menyikapi kesalahan dengan membuat kesalahan baru.

Tak ada mahasiswa yang berani marah secara individu kepada dosen yang tak pernah masuk mengajar. Mereka berteriak di jalan tentang pemberantasan korupsi, karena mereka yakin ada puluhan bahkan ratusan teman-teman mereka meneriakan hal sama di jalan. Dan mereka merasa menjadi pahlawan. Merasa menjadi guru.

Ketika “murid nakal yang dimarahi” meminta maaf dan menyadari kesalahannya, mereka akan mengangguk-angguk. Kemudian mulai mengeluarkan tatapan ‘bijak” itu. Belagu.

Seperti aku. Yang menjadi tempat keluh kesah teman-temanku. Yang mengangguk-angguk. Yang sok memberikan pendapat paling bener. Yang membenarkan dan menyalahkan. Yang ngomong sembarangan sambil mengunyah croissant. Hingga mereka menyeka air mata, lalu mulai memelukku sambil berterima kasih. Belagu.

Indonesia, kapan kau berhenti menjadi guru dan mulai menjadi murid kembali?

(udah malem, masih ada warung buka gak ya? Stock sikat gigi habis…hiks)

Tuhanku Jahat

Tubuh itu menggeliat resah. Seketika kulit halus dipenuhi benjolan-benjolan penuh darah. Mata yang terselimuti bulu lentik dengan alis tertata rapi pun membeliak. Bola mata membeliak penuh sakit. Teriakan kepedihan memenuhi ruangan. Ranjang hasil rancangan desainer ternama itu diguncang oleh jazad yang berasap.

Ketika tangaku tergerak menekan tombol pengganti saluran citra dari tabung kaca itu, keponakanku pun bertanya, "Katanya Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Bun?".

Keponakanku terbiasa memanggilku Bunda. Aku pun cuma bisa terdiam dalam kekosongan. Judul acara yang bermakna penuh keindahan itu cuma jadi ajang pamer hukuman dari Sang Maha Pengadil. Sesaat, rasa rinduku akan Tuhan yang penuh cinta kasih pun menyebak di dada.

Terinspirasi oleh sinetron Hidayah.