Tuesday, November 28, 2006

Banyak Pahlawan Di Indonesia

Seorang temen bilang, “Indah, kamu tuh orang paling enak buat dicurhatin!”. Harusnya, compliment macam ini bikin mata berbinar-binar. Biasanya juga, pujian yang datang dari seorang temen –yang curhat sambil nangis darah ini- bikin aku lebih melebarkan senyum, menarik nafas lebih dalem, dan memandang sabahatku ini dengan tatapan ‘bijak’.

Tapi hari itu, sungguh, aku muak sama diri sendiri. Sesampainya di rumah setelah berjam-jam denger curhat di tempat ngopi, aku langsung lari ke kamar mandi. Yes! Masih ada sikat gigi yang belom dibuka! Sikat gigi baru ini kuletakkan tepat di tengah lipatan telapak tangan, dan menggenggamnya erat. Harus ku yakinkan diri sendiri untuk gak bakalan pernah ngelepasin sikat gigi ini. Kapanpun!

30 menit.

Satu jam lebih. Gusiku mulai berdarah.

Satu jam empat puluh lima menit. Gigiku linu.

2 jam! Aku merasakan cairan asin berbaur dengan busa pasta gigi yang udah gak jelas rasanya apa.

Bukan. Bukan darah.

Itu air mata. Air asin yang kukecap berasal dari air mata yang entah sejak kapan menetes.

Aku jijik sama diriku.

Aku ingin membersihkan semua yang pernah aku ucapkan selama puluhan tahun hidup. Kalau perlu, aku akan bertahun-tahun berada di depan wastafel dan terus menyikat gigi dan mulut. Sampai tak lagi bersisa semua yang pernah aku ucapkan. Kepada siapapun.

Aku menghianati diri sendiri.

Aku menghianati Tuhan.

Aku menghianati sahabat-sahabatku.

Lihatlah di luar sana. Dengan alasan menegakkan kebenaran, masyarakat memukuli dan membakar sampai mati seorang pencuri ayam. Untuk menjaga standar moral, sepasang adam-hawa yang (dianggap) berzinah diarak telanjang keliling kampung.

Cobalah kau bikin keributan malam-malam sampai mengganggu tetangga. Lalu Pak RT dan para penduduk mendatangi rumahmu. Coba kau lawan mereka. Mereka akan mulai mencari alasan untuk melempari rumahmu dengan batu. Tapi cobalah langsung meminta maaf. Mereka akan masuk ke teras rumahmu dan memintamu duduk. Pak RT akan panjang lebar menjelaskan tentang hidup bertetangga. Akan banyak yang ikut mengiyakan dan menimpali, sambil matanya mencoba mengorek-ngorek isi dibalik daster merah muda-mu. Beres? Tidak. Lalu mereka akan mulai berbicara panjang lebar tentang pagarmu yang terlalu tinggi. Tentang mangga di kebun yang tak pernah kau bagi-bagi. Tentang anak-anak yang kau marahi karena menginjak-injak bunga anggrek kesayangan peninggalan papa. Duh, apa hubungannya semua itu dengan berisik malam-malam? Belagu.

Ini hobi masyarakat kita: menggurui dan menjadi pahlawan. Kita menyikapi kesalahan dengan membuat kesalahan baru.

Tak ada mahasiswa yang berani marah secara individu kepada dosen yang tak pernah masuk mengajar. Mereka berteriak di jalan tentang pemberantasan korupsi, karena mereka yakin ada puluhan bahkan ratusan teman-teman mereka meneriakan hal sama di jalan. Dan mereka merasa menjadi pahlawan. Merasa menjadi guru.

Ketika “murid nakal yang dimarahi” meminta maaf dan menyadari kesalahannya, mereka akan mengangguk-angguk. Kemudian mulai mengeluarkan tatapan ‘bijak” itu. Belagu.

Seperti aku. Yang menjadi tempat keluh kesah teman-temanku. Yang mengangguk-angguk. Yang sok memberikan pendapat paling bener. Yang membenarkan dan menyalahkan. Yang ngomong sembarangan sambil mengunyah croissant. Hingga mereka menyeka air mata, lalu mulai memelukku sambil berterima kasih. Belagu.

Indonesia, kapan kau berhenti menjadi guru dan mulai menjadi murid kembali?

(udah malem, masih ada warung buka gak ya? Stock sikat gigi habis…hiks)

Tuhanku Jahat

Tubuh itu menggeliat resah. Seketika kulit halus dipenuhi benjolan-benjolan penuh darah. Mata yang terselimuti bulu lentik dengan alis tertata rapi pun membeliak. Bola mata membeliak penuh sakit. Teriakan kepedihan memenuhi ruangan. Ranjang hasil rancangan desainer ternama itu diguncang oleh jazad yang berasap.

Ketika tangaku tergerak menekan tombol pengganti saluran citra dari tabung kaca itu, keponakanku pun bertanya, "Katanya Tuhan itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang Bun?".

Keponakanku terbiasa memanggilku Bunda. Aku pun cuma bisa terdiam dalam kekosongan. Judul acara yang bermakna penuh keindahan itu cuma jadi ajang pamer hukuman dari Sang Maha Pengadil. Sesaat, rasa rinduku akan Tuhan yang penuh cinta kasih pun menyebak di dada.

Terinspirasi oleh sinetron Hidayah.